Banyak cara yang dilakukan oleh para wali dalam mengislamkan penduduk. Di antara metode yang digunakan dalam proses Islamisasi ini ialah menggunakan musik. Melalui kesenian ini, proses dakwah bisa dijalankan tanpa kekerasan dan tanpa bentrokan. Kesenian dibutuhkan sebagai sebuah media meyelaraskan doktrin agama dengan “rasa” agar terjadi sebuah harmoni di dalamnya.
Di antara metode kesenian yang digunakan ialah menggunakan instrumen alat musik. Walisongo menggunakan gamelan sebagai sebuah perangkat untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa. Pada era berikutnya, perangkat musik berkembang sedemikian rupa, bukan hanya menggunakan gamelan, melainkan juga instrumen lain seperti kecapi dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan adanya persentuhan dengan
instrumen lokal.
Di wilayah lain, instrumen musik yang digunakan bisa berlainan. Rebana, misalnya juga digunakan sebagai alat musik di berbagai daerah. Instrumen musik yang berasal dari kulit binatang ini merupakan alat musik andalan yang digunakan dalam kesenian marawis, zafin, hadrah, terbangan, dan sebagainya. Saat dimainkan dan diaransemen dengan alat musik lain iramanya menghentak, rancak dan variatif.
Pada perkembangannya, alat musik ini identik dengan kegiatan berkesenian bernafaskan agama Islam. Penyebarannya semakin meluas. Meski alat ini berasal dari Timur Tengah namun perkembangannya semakin meluas dan mengalami penyesuaian dengan musik-musik tradisional, baik seni lagu yang dibawakan maupun perpaduan dengan alat musik yang dimainkan. Hingga kemudian digunakan dalam kegiatan bernafaskan agama seperti maulid Nabi, pembacaan al-Barzanji dan Ad-Diba’i, pernikahan, khitanan, dan sebagainya, kesenian yang kemudian dinamakan “hadrah” ini selalu ada.
Demikian pula dengan kasidah, marawis, dan gambus, penggunaaan rebana kemudian melahirkan aliran-aliran kesenian musik “Islami”. Mengapa disebut “Islami”? Karena musik ini ditampilkan dalam perayaan acara-acara keagamaan dan digunakan untuk mengiringi kasidah berisi puji-pujian kepada baginda Rasul maupun berisi shalawat.
Keunikan alat musik rebana yang digunakan dalam kesenian hadrah ini, khususnya jenis hadrah al-Banjari adalah, pada saat memainkannuya, setiap pukulan pemain satu dengan pemain yang lain berbeda. Namun mereka saling melengkapi. Nada-nada yang dihasilkan rebana memang berbeda, tapi justru itulah yang membentuk harmoni bermusik. Jadi, setiap pemain harus mengontrol egonya agar ritmis nada tetap terjaga dan tidak merusak pakem nada.
Harus diakui, di antara jenis kesenian Islami, hadrah al-Banjari merupakan yang terpopuler, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Di berbagai pelosok kampung, di mushalla maupun masjid hingga pesantren, jenis kesenian ini memiliki basis pegiat dan pelestari. Selain itu, berbagai festival dalam skala lokal, regional, hingga nasional pernah digelar. Penyelenggaranya, dari perorangan, swasta hingga lembaga. Berbagai kampus di Jawa Timur juga masing-masing memiliki grup hadrah al-Banjari. Secara rutin, kampus-kampus Islam ini menyelenggarakan festival hadrah al-Banjari skala provinsi, baik kelas antar kampus maupun bebas antar group. Pesertanya membludak. Dalam pengamatan penulis, proses penyelenggaraan festival ini bukan 100% misi ekonomis (mendapatkan hadiah, misalnya), tetapi lebih pada unsur kebanggaan sebagai umat Islam yang bergiat melestarikan kesenian sembari mengharapkan keberkahan shalawat yang dilantunkan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Agung Prasetyo, salah seorang pegiat al-Banjari di kampungnya di Surabaya. Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menilai jika aktivitasnya di kesenian ini merupakan panggilan jiwa. Ia merasa bahagia bisa bersama-sama sahabatnya melantunkan shalawat sembari diiringi rebana. Ia menilai bahwa kesenian ini juga menjadi salah satu oase di tengah gempuran musik-musik
yang tidak agamis.
Pernyataan Agung, sebagai pecinta shalawatan melalui hadrah al-Banjari, ini memberikan sinyal positif bahwa kegiatan berkesenian melalui hadrah al-Banjari ini akan terus ada dan terus dilestarikan dan dimassifkan. Menurut Agung, di Surabaya sebagai kota metropolis, pertumbuhan kesenian hadrah al-Banjari ini menggembirakan. Dalam pengamatannya, hal ini tidak lepas dari munculnya grup grup shalawat yang berbasis di masjid maupun mushalla maupun pengaruh dari popularitas Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf dengan Ahbabul Musthofa-nya.
Masyarakat semakin semarak dalam bershalawat. Popularitas hadrah al-Banjari ini tumbuh tidak dengan sendirinya, melainkan dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Akan tetapi, sungguhpun popularitas hadrah al-Banjari ini menuai kejayaan, tapi banyak yang masih belum tahu asal mula kesenian ini. Majalah AULA Nahdlatul Ulama, yang menurunkan laporan mengenai kesenian ini pada edisi Januari 2013, menyebut bahwa hadrah al-Banjari berasal dari Kalimantan. Hal ini merujuk pada penisbatannya, yaitu, “al-Banjar(i)” alias Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Istilah al-Banjari sendiri juga banyak digunakan sebagai nama nisbat berdasarkan daerah oleh para ulama asal Banjarmasin, misalnya Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Demikianlah, akhirnya hadrah al-Banjari identik dengan Banjarmasin dan dianggap berasal dari Banjarmasin. Kesenian ini dilestarikan secara turun temurun diberbagai basis komunitas “Urang Banjar” yang berada di perantauan. Misalnya di Surabaya, Tulungagung, Solo, Pasuruan, Bangil dan sebagainya. Jadi, sebagai pengikat solidaritas, mereka menyelenggarkan kegiatan hadrah pada waktu-waktu tertentu. hadrah ini kemudian disebut oleh orang luar komunitas mereka sebagai hadrah al-Banjari alias hadrahnya orang-orang Banjar.
Uniknya, saat ini banyak sekali sekumpulan atau grup shalawat yang menggunakan nama alias menyebut diri sebagai group hadrah al-Banjari, namun di dalamnya justru tidak ada “Urang Banjar” sama sekali. Fenomena ini bisa ditemui di berbagai kampung yang di dalamnya dilestarikan grup-grup kesenian ini. bahkan di berbagai kampus juga demikian. Misalnya, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) IQMA Bidang Shalawat di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang memiliki grup hadrah alBanjari yaitu Assyafaah. Di dalamnya malah tidak ada mahasiswa asal Banjarmasin. Begitu pula fenomena di grup lainnya, seperti grup Ainul Madinah, Syauqul Habib, dan sebagainya.
Salah satu contoh lainnya adalah grup al-Muhibbin di kampung Keputran Panjunan, Surabaya. Di awal pendiriannya, grup ini didominasi oleh orang-orang Banjarmasin yang tinggal di situ. Tetapi dalam perkembangannya, justru anggota grup ini didominasi oleh keturunan Jawa dan Madura yang memang menjadi penduduk kampung tersebut. Regenerasi di kalangan “Urang Banjar” dalam melestarikan kesenian ini malah tersendat-sendat.
Di salah satu versi, memang kesenian hadrah al-Banjari ini dianggap berasal dari Banjarmasin. Usianya sudah ratusan tahun, karena kesenian ini dianggap mucul pada era Kesultanan Banjar. Namun pendapat ini kurang popular di kangangan pegiat hadrah al-Banjari. Selain versi ini, ada pula versi lain. Anggapan ini menyatakan bahwa sebenarnya seni hadrah al-Banjari berasal atau dirintis dari kota Tulungagung. Ini adalah pendapat dari pegiat kesenian hadrah al-Banjari, Habib Abu Bakar bin Idrus Al-Habsyi dari Wonokusumo Surabaya.
Dalam versi ini, yang disebut sebagai perintis adalah seorang keturunan Arab yang akrab disapa Yik Bakar. Ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang menggemari kesenian Islam. Baginya, kesenian Islam bisa menjadi salah satu alat melembutkan “rasa”, olah jiwa, sekaligus melatih kepekaan. Selebihnya, kesenian Islami bisa dijadikan sebagai salah satu metode dakwah. Apalagi konteks zaman saat itu, dimana orang-orang komunis melakukan agitasi dan provokasi kebudayaan, membuat Yik Bakar tergerak merancang sebuah kesenian yang bisa mengimbangi gerakan orang-orang komunis ini.
Melalui kesenian, solidaritas umat Islam mudah disatukan, dan pengaruh negatif orang-orang komunis bisa diminimalisir. Di sela-sela latihan kesenian inilah, Yik Bakar memberikan nasehat-nasehat keagamaan. Dari situ, masyarakat semakin intens berlatih kesenian hadrah ini. Hadrah ini memiliki banyak pengikut. Dahulu hadrah tersebut belum dikenal dengan sebutan al-Banjari, akan tetapi Majruran (majelis yang berjajar atau “sekumpulan yang berbaris-baris”).
Kegiatan berkesenian ini kemudian menular ke daerah lainnya. Apalagi tatkala Yik Bakar memutuskan berpindah ke Manyar, Gresik. Sejak berpindah ke Gresik, Yik Bakar semakin bersemangat mengembangkan hadrah ini. Maklum, di era sebelum tahun 1965, orang-orang komunis sangat giat mengganggu kekhusukan ibadah umat Islam melalui provokasi yang menyakitkan hati. Dan, ketika ada sebuah kesenian jenis baru bernama majruran, beberapa kelompok umat Islam merasa lega dan memberikan waktu khusus untuk mempelajari dan mengembangkan kesenian ini. Majruran semakin berkembang, namun intensitasnya tergolong lambat pada tahun 1970-an. Pada tahun 1980 di Keputran Panjunan Surabaya sudah terdapat kelompok-kelompok kecil yang melantunkan sholawat dengan nama Majruran.. Kelompok yang menjadi pegiat kesenian ini di kampung tersebut berasal dari Banjarmasin. Pola pengembangannya juga tidak massif, karena yang lebih banyak diminati saat itu adalah kesenian ISHARI yang ada di bawah naungan NU maupun kesenian hadrah yang berasal drai daerah tertentu, seperti Pekalongan, Kuntulan (Banyuwangi), Malang-an, dan sebagainya. Hanya saja, di pesantren, majruran66 ini menjadi kegiatan ekstrakulikuler bagi para santri di pesantren Ndresmo alias Sidosermo Dalam pada tahun 1960-an.
Kembali ke bahasan semula. Selain Yik Bakar, terdapat nama lain tidak tak bisa dilepaskan dari sejarah hadrah al-Banjari. Haji Basyuni, demikian salah satu nama perintis hadrah bersama Yik Bakar. Berasal dari Banjarmasin, pria ini tinggal di Tulungagung dengan berdagang emas dan batu mulia yang ia datangkan dari Martapura, kampung halamannya. Duet Yik Bakar dan Haji Basyuni inilah yang membuat kesenian hadrah mampu bertahan di awal perintisannya hingga saat ini.
Penulis melihat sebuah hal yang menarik di sini. Yik Bakar, sebagai seorang Arab, tentu memiliki kecintaan terhadap tradisi hadrah al-Habsyi yang memang popular dengan diiringi pembacaan Maulid Simtud Duror. Adapun Haji Basyuni, sebagai seorang Banjar, juga memiliki kecintaan terhadap tradisi berkesenian hadrah di kampung halamannya. Pertemuan dua pecinta seni inilah yang, menurut penulis, ikut memberikan warna menarik bagi perkembangan hadrah al-Banjari.
Jika pendapat pertama di atas menilai bahwa perintisan hadrah al-Banjari dimulai dari Tulungagung atas dorongan Yik Bahar, versi kedua mengatakan jika yang paling dominan dalam proses perintisan ini adalah Haji Basyuni. Sebagaimana dijelaskan di atas Haji Basyuni adalah seorang saudagar batu mulia asal Banjarmasin yang merantau di Tulungagung. Sebagai seorang Banjar, ia merasa nyaman manakala bertemu dengan masyarakat seetnisnya. Di Jawa, salah satu komunitas masyarakat Banjar ada di Kota Bangil, Pasuruan. Kebetulan di kota kecil ini terdapat seorangulama asal Banjarmasin yang mendirikan pesantren. KH. Syarwani Abdan, nama ulama Banjar ini, mendirikan Pesantren Datuk Kalampayan. Pesantren ini awalnya hanya dihuni puluhan santri, itupun berasal dari masyarakat Banjar yang tinggal di sekitarnya, maupun dari penduduk lokal. Lambat laun pesantren ini berkembang pesat, santrinya hingga ribuan orang. Kharisma yang dimiliki oleh Kiai Syarwani juga sangat besar. Jama’ahnya ribuan orang.
Kiai Syarwani Abdan inilah yang menjadi salah satu simpul penting dalam proses pengembangan hadrah al-Banjari. Membicarakan kesenian ini tanpa menyebut nama ulama ini rasanya mustahil, sebab melalui tangannya lah hadrah al-Banjari bisa bertahan dan berkembang pada masa-masa berikutnya. Perintisan hadrah al-Banjari di kota Bangil seolah menjadi penanda awal bahwa kesenian ini akan berkembang dan memiliki jumlah pecinta yang banyak. Sebab, meskipun menjadi kota kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan, pada dasarnya Bangil adalah kota yang pernah menjadi salah satu sentra pemerintahan di era kolonialisme. Hingga saat ini pun Bangil masih menyimpan jejak-jejak kebesaran di
masa lampau.
Bangil adalah sebuah kota kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur. Bangil terletak di antara jalan akses dari Surabaya menuju Banyuwangi dan Bali, serta mempunyai jalur alternatif yang bisa menghubungkan menuju Pandaan, Sukorejo serta Malang. Kota Bangil sangat padat penduduknya dengan berbagai suku etnis, diantaranya Jawa, Arab, Banjar, Madura, dan lainnya.
Keberadaan Bangil sebagai kota metropolis kecil membuat kota ini tampak dinamis. Dinamika yang ditandai dengan pluralnya unsur-unsur etnis dan budaya yang saling beradaptasi. Kebetulan, di pesantren yang diasuh oleh KH. Syarwani Abdan, telah ada sebuah rutinitas kegiatan shalawat yang dikenal dengan Maulid alHabsyi yang dibacakan secara berjamaah dengan banyak orang. Maulid al-Habsyi adalah pembacaan kitab shalawat yang berjudul Simtud Duror karangan Syekh Muhammad Ali bin Muhammad al-Habsyi. Pada awalnya Maulid al-Habsyi dilakukan tanpa menggunakan iringan hadrah.
Diceritakan bahwa ketika Haji Basyuni, saudagar emas asal Banjar, yang berasal dari Tulungagung datang kepada Syekh Sarwani Abdan al-Banjari, ia mengenalkan hadrah yang berasal dari Tulungagung kepada kiai tersebut. Kiai Syarwani yang melihat ada keunikan dalam seni hadrah asal Tulungagung ini kemudian mempersilahkan agar kegiatan jamiyyah shalawat Maulid Simtud Duror al Habsyi diiringi dengan kesenian hadrah. Pembacaan Sholawat dengan iringan hadrah dari Tulungagung inilah yang kemudian dikenal dengan Seni hadrah alBanjari yang dikenal luas oleh masyarakat saat ini. Melalui tangan Haji Basyuni, Yik Bakar diajak ke Bangil dan diperkenalkan kepada Kiai Syarwani. Sejak saat itulah, menurut Ustadz Chumaidi, salah satu perintis hadrah al-Banjari, jenis kesenian baru lahir:
Dengan demikian, menurut pendapat yang kedua ini, terjadi akulturasi kesenian antara hadrah Majruran ala Tulungagung dengan kesenian dalam Majelis Shalawat al-Habsyi. Maka, terdapat tiga tokoh kunci dalam proses “pelembagaan” hadrah al-Banjari ini, yaitu Yik Bakar, Haji Basyuni, dan Kiai Syarwani.
Adapun jika dilihat dari pola pembentukannya, bisa dilihat manakala kesenian Majruran dianggap sebagai embrio hadrah al-Banjari, kemudian dikombinasikan dengan kegiatan jamiyyah shalawat al-Habsyi di Pesantren Datuk Kalampayan. Kombinasi unik inilah yang kemudian menghasilkan sebuah genre musikalisasi shalawat bernama hadrah al-Banjari.
Sumber: digilib.uinsby.ac.id/1771/4/Bab%203.pdf oleh J Machrus - 2014
Di antara metode kesenian yang digunakan ialah menggunakan instrumen alat musik. Walisongo menggunakan gamelan sebagai sebuah perangkat untuk berdakwah kepada masyarakat Jawa. Pada era berikutnya, perangkat musik berkembang sedemikian rupa, bukan hanya menggunakan gamelan, melainkan juga instrumen lain seperti kecapi dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan adanya persentuhan dengan
instrumen lokal.
Di wilayah lain, instrumen musik yang digunakan bisa berlainan. Rebana, misalnya juga digunakan sebagai alat musik di berbagai daerah. Instrumen musik yang berasal dari kulit binatang ini merupakan alat musik andalan yang digunakan dalam kesenian marawis, zafin, hadrah, terbangan, dan sebagainya. Saat dimainkan dan diaransemen dengan alat musik lain iramanya menghentak, rancak dan variatif.
Pada perkembangannya, alat musik ini identik dengan kegiatan berkesenian bernafaskan agama Islam. Penyebarannya semakin meluas. Meski alat ini berasal dari Timur Tengah namun perkembangannya semakin meluas dan mengalami penyesuaian dengan musik-musik tradisional, baik seni lagu yang dibawakan maupun perpaduan dengan alat musik yang dimainkan. Hingga kemudian digunakan dalam kegiatan bernafaskan agama seperti maulid Nabi, pembacaan al-Barzanji dan Ad-Diba’i, pernikahan, khitanan, dan sebagainya, kesenian yang kemudian dinamakan “hadrah” ini selalu ada.
Demikian pula dengan kasidah, marawis, dan gambus, penggunaaan rebana kemudian melahirkan aliran-aliran kesenian musik “Islami”. Mengapa disebut “Islami”? Karena musik ini ditampilkan dalam perayaan acara-acara keagamaan dan digunakan untuk mengiringi kasidah berisi puji-pujian kepada baginda Rasul maupun berisi shalawat.
Hasil Penelitian Albanjari
Dalam hasil penelitian, bahwa al-Banjari bukan dari kota Banjarmasin, melainkan dari Jawa Timur, khususnya di kota Tulungagung, dan di populerkan di kota Bangil, dari kota tersebut baru al-Banjari dikenal lewat tokoh yang bernama KH. Chumaidi Abdul Majid yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ustadz Chumaidi yang berasal dari dari Tapaan Pasuruan, dari beliau bermunculan para santrinya yang ditugaskan mengajar hadrah tersebut, khususnya di daerah jawa, sedangkan Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan nama Guru Zaini dari Martapura Banjarmasin, beliau mengadakan majlisan atau perkumpulan sholawat yang diiringin dengan hadrah tersebut, sehingga dari sanalah beranggapan dan bermunculan bahwa hadrah tersebut bernama al-Banjari dari kota Banjarmasin.Keunikan alat musik rebana yang digunakan dalam kesenian hadrah ini, khususnya jenis hadrah al-Banjari adalah, pada saat memainkannuya, setiap pukulan pemain satu dengan pemain yang lain berbeda. Namun mereka saling melengkapi. Nada-nada yang dihasilkan rebana memang berbeda, tapi justru itulah yang membentuk harmoni bermusik. Jadi, setiap pemain harus mengontrol egonya agar ritmis nada tetap terjaga dan tidak merusak pakem nada.
Penabuh Albanjari |
Harus diakui, di antara jenis kesenian Islami, hadrah al-Banjari merupakan yang terpopuler, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Di berbagai pelosok kampung, di mushalla maupun masjid hingga pesantren, jenis kesenian ini memiliki basis pegiat dan pelestari. Selain itu, berbagai festival dalam skala lokal, regional, hingga nasional pernah digelar. Penyelenggaranya, dari perorangan, swasta hingga lembaga. Berbagai kampus di Jawa Timur juga masing-masing memiliki grup hadrah al-Banjari. Secara rutin, kampus-kampus Islam ini menyelenggarakan festival hadrah al-Banjari skala provinsi, baik kelas antar kampus maupun bebas antar group. Pesertanya membludak. Dalam pengamatan penulis, proses penyelenggaraan festival ini bukan 100% misi ekonomis (mendapatkan hadiah, misalnya), tetapi lebih pada unsur kebanggaan sebagai umat Islam yang bergiat melestarikan kesenian sembari mengharapkan keberkahan shalawat yang dilantunkan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Agung Prasetyo, salah seorang pegiat al-Banjari di kampungnya di Surabaya. Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menilai jika aktivitasnya di kesenian ini merupakan panggilan jiwa. Ia merasa bahagia bisa bersama-sama sahabatnya melantunkan shalawat sembari diiringi rebana. Ia menilai bahwa kesenian ini juga menjadi salah satu oase di tengah gempuran musik-musik
yang tidak agamis.
Menurut saya, hadrah al-Banjari ini memberikan kebahagiaan bagi kami yang berkegiatan ini. Tabarrukan sekaligus melestarikan kesenian Islami. Jika bukan kita yang merawat dan mempergiat aktivitas ini, lalu siapa lagi?
Pernyataan Agung, sebagai pecinta shalawatan melalui hadrah al-Banjari, ini memberikan sinyal positif bahwa kegiatan berkesenian melalui hadrah al-Banjari ini akan terus ada dan terus dilestarikan dan dimassifkan. Menurut Agung, di Surabaya sebagai kota metropolis, pertumbuhan kesenian hadrah al-Banjari ini menggembirakan. Dalam pengamatannya, hal ini tidak lepas dari munculnya grup grup shalawat yang berbasis di masjid maupun mushalla maupun pengaruh dari popularitas Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf dengan Ahbabul Musthofa-nya.
Masyarakat semakin semarak dalam bershalawat. Popularitas hadrah al-Banjari ini tumbuh tidak dengan sendirinya, melainkan dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Akan tetapi, sungguhpun popularitas hadrah al-Banjari ini menuai kejayaan, tapi banyak yang masih belum tahu asal mula kesenian ini. Majalah AULA Nahdlatul Ulama, yang menurunkan laporan mengenai kesenian ini pada edisi Januari 2013, menyebut bahwa hadrah al-Banjari berasal dari Kalimantan. Hal ini merujuk pada penisbatannya, yaitu, “al-Banjar(i)” alias Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Istilah al-Banjari sendiri juga banyak digunakan sebagai nama nisbat berdasarkan daerah oleh para ulama asal Banjarmasin, misalnya Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari.
Demikianlah, akhirnya hadrah al-Banjari identik dengan Banjarmasin dan dianggap berasal dari Banjarmasin. Kesenian ini dilestarikan secara turun temurun diberbagai basis komunitas “Urang Banjar” yang berada di perantauan. Misalnya di Surabaya, Tulungagung, Solo, Pasuruan, Bangil dan sebagainya. Jadi, sebagai pengikat solidaritas, mereka menyelenggarkan kegiatan hadrah pada waktu-waktu tertentu. hadrah ini kemudian disebut oleh orang luar komunitas mereka sebagai hadrah al-Banjari alias hadrahnya orang-orang Banjar.
Uniknya, saat ini banyak sekali sekumpulan atau grup shalawat yang menggunakan nama alias menyebut diri sebagai group hadrah al-Banjari, namun di dalamnya justru tidak ada “Urang Banjar” sama sekali. Fenomena ini bisa ditemui di berbagai kampung yang di dalamnya dilestarikan grup-grup kesenian ini. bahkan di berbagai kampus juga demikian. Misalnya, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) IQMA Bidang Shalawat di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang memiliki grup hadrah alBanjari yaitu Assyafaah. Di dalamnya malah tidak ada mahasiswa asal Banjarmasin. Begitu pula fenomena di grup lainnya, seperti grup Ainul Madinah, Syauqul Habib, dan sebagainya.
Salah satu contoh lainnya adalah grup al-Muhibbin di kampung Keputran Panjunan, Surabaya. Di awal pendiriannya, grup ini didominasi oleh orang-orang Banjarmasin yang tinggal di situ. Tetapi dalam perkembangannya, justru anggota grup ini didominasi oleh keturunan Jawa dan Madura yang memang menjadi penduduk kampung tersebut. Regenerasi di kalangan “Urang Banjar” dalam melestarikan kesenian ini malah tersendat-sendat.
Di salah satu versi, memang kesenian hadrah al-Banjari ini dianggap berasal dari Banjarmasin. Usianya sudah ratusan tahun, karena kesenian ini dianggap mucul pada era Kesultanan Banjar. Namun pendapat ini kurang popular di kangangan pegiat hadrah al-Banjari. Selain versi ini, ada pula versi lain. Anggapan ini menyatakan bahwa sebenarnya seni hadrah al-Banjari berasal atau dirintis dari kota Tulungagung. Ini adalah pendapat dari pegiat kesenian hadrah al-Banjari, Habib Abu Bakar bin Idrus Al-Habsyi dari Wonokusumo Surabaya.
Dalam versi ini, yang disebut sebagai perintis adalah seorang keturunan Arab yang akrab disapa Yik Bakar. Ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang menggemari kesenian Islam. Baginya, kesenian Islam bisa menjadi salah satu alat melembutkan “rasa”, olah jiwa, sekaligus melatih kepekaan. Selebihnya, kesenian Islami bisa dijadikan sebagai salah satu metode dakwah. Apalagi konteks zaman saat itu, dimana orang-orang komunis melakukan agitasi dan provokasi kebudayaan, membuat Yik Bakar tergerak merancang sebuah kesenian yang bisa mengimbangi gerakan orang-orang komunis ini.
Melalui kesenian, solidaritas umat Islam mudah disatukan, dan pengaruh negatif orang-orang komunis bisa diminimalisir. Di sela-sela latihan kesenian inilah, Yik Bakar memberikan nasehat-nasehat keagamaan. Dari situ, masyarakat semakin intens berlatih kesenian hadrah ini. Hadrah ini memiliki banyak pengikut. Dahulu hadrah tersebut belum dikenal dengan sebutan al-Banjari, akan tetapi Majruran (majelis yang berjajar atau “sekumpulan yang berbaris-baris”).
Kegiatan berkesenian ini kemudian menular ke daerah lainnya. Apalagi tatkala Yik Bakar memutuskan berpindah ke Manyar, Gresik. Sejak berpindah ke Gresik, Yik Bakar semakin bersemangat mengembangkan hadrah ini. Maklum, di era sebelum tahun 1965, orang-orang komunis sangat giat mengganggu kekhusukan ibadah umat Islam melalui provokasi yang menyakitkan hati. Dan, ketika ada sebuah kesenian jenis baru bernama majruran, beberapa kelompok umat Islam merasa lega dan memberikan waktu khusus untuk mempelajari dan mengembangkan kesenian ini. Majruran semakin berkembang, namun intensitasnya tergolong lambat pada tahun 1970-an. Pada tahun 1980 di Keputran Panjunan Surabaya sudah terdapat kelompok-kelompok kecil yang melantunkan sholawat dengan nama Majruran.. Kelompok yang menjadi pegiat kesenian ini di kampung tersebut berasal dari Banjarmasin. Pola pengembangannya juga tidak massif, karena yang lebih banyak diminati saat itu adalah kesenian ISHARI yang ada di bawah naungan NU maupun kesenian hadrah yang berasal drai daerah tertentu, seperti Pekalongan, Kuntulan (Banyuwangi), Malang-an, dan sebagainya. Hanya saja, di pesantren, majruran66 ini menjadi kegiatan ekstrakulikuler bagi para santri di pesantren Ndresmo alias Sidosermo Dalam pada tahun 1960-an.
Pada tahun 1980-an sudah ada terbangan tersebut dan diberi nama Tulungagungan, karena fokus karakter terbangannya sama dengan Tulungagung. Ada juga yang disebut Pekalongan dengan ciri khas berbeda, meskipun dasaran cara terbangan semua sama. Bahkan ada juga dengan sebutan Malangan. Jadi bisa diidentikkan dengan daerahnya, karena setiap pukulannya berbeda karakter.
Kembali ke bahasan semula. Selain Yik Bakar, terdapat nama lain tidak tak bisa dilepaskan dari sejarah hadrah al-Banjari. Haji Basyuni, demikian salah satu nama perintis hadrah bersama Yik Bakar. Berasal dari Banjarmasin, pria ini tinggal di Tulungagung dengan berdagang emas dan batu mulia yang ia datangkan dari Martapura, kampung halamannya. Duet Yik Bakar dan Haji Basyuni inilah yang membuat kesenian hadrah mampu bertahan di awal perintisannya hingga saat ini.
Penulis melihat sebuah hal yang menarik di sini. Yik Bakar, sebagai seorang Arab, tentu memiliki kecintaan terhadap tradisi hadrah al-Habsyi yang memang popular dengan diiringi pembacaan Maulid Simtud Duror. Adapun Haji Basyuni, sebagai seorang Banjar, juga memiliki kecintaan terhadap tradisi berkesenian hadrah di kampung halamannya. Pertemuan dua pecinta seni inilah yang, menurut penulis, ikut memberikan warna menarik bagi perkembangan hadrah al-Banjari.
Jika pendapat pertama di atas menilai bahwa perintisan hadrah al-Banjari dimulai dari Tulungagung atas dorongan Yik Bahar, versi kedua mengatakan jika yang paling dominan dalam proses perintisan ini adalah Haji Basyuni. Sebagaimana dijelaskan di atas Haji Basyuni adalah seorang saudagar batu mulia asal Banjarmasin yang merantau di Tulungagung. Sebagai seorang Banjar, ia merasa nyaman manakala bertemu dengan masyarakat seetnisnya. Di Jawa, salah satu komunitas masyarakat Banjar ada di Kota Bangil, Pasuruan. Kebetulan di kota kecil ini terdapat seorangulama asal Banjarmasin yang mendirikan pesantren. KH. Syarwani Abdan, nama ulama Banjar ini, mendirikan Pesantren Datuk Kalampayan. Pesantren ini awalnya hanya dihuni puluhan santri, itupun berasal dari masyarakat Banjar yang tinggal di sekitarnya, maupun dari penduduk lokal. Lambat laun pesantren ini berkembang pesat, santrinya hingga ribuan orang. Kharisma yang dimiliki oleh Kiai Syarwani juga sangat besar. Jama’ahnya ribuan orang.
Nama lengkap Syekh Syarwani Abdan al-Banjari adalah KH M Syarwani Abdan bin Haji Muhammad Abdan bin Haji Muhammad Yusuf bin Haji Muhammad Shalih Siam bin Haji Ahmad bin Haji Muhammad Thahir bin Haji Syamsuddin bin Saidah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di kampung Melayu Ilir Martapura dan wafat di Bangil pada 12 syafar 1410 H/11-12 september 1989 M.
Kiai Syarwani Abdan inilah yang menjadi salah satu simpul penting dalam proses pengembangan hadrah al-Banjari. Membicarakan kesenian ini tanpa menyebut nama ulama ini rasanya mustahil, sebab melalui tangannya lah hadrah al-Banjari bisa bertahan dan berkembang pada masa-masa berikutnya. Perintisan hadrah al-Banjari di kota Bangil seolah menjadi penanda awal bahwa kesenian ini akan berkembang dan memiliki jumlah pecinta yang banyak. Sebab, meskipun menjadi kota kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan, pada dasarnya Bangil adalah kota yang pernah menjadi salah satu sentra pemerintahan di era kolonialisme. Hingga saat ini pun Bangil masih menyimpan jejak-jejak kebesaran di
masa lampau.
Bangil adalah sebuah kota kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Pasuruan, Propinsi Jawa Timur. Bangil terletak di antara jalan akses dari Surabaya menuju Banyuwangi dan Bali, serta mempunyai jalur alternatif yang bisa menghubungkan menuju Pandaan, Sukorejo serta Malang. Kota Bangil sangat padat penduduknya dengan berbagai suku etnis, diantaranya Jawa, Arab, Banjar, Madura, dan lainnya.
Keberadaan Bangil sebagai kota metropolis kecil membuat kota ini tampak dinamis. Dinamika yang ditandai dengan pluralnya unsur-unsur etnis dan budaya yang saling beradaptasi. Kebetulan, di pesantren yang diasuh oleh KH. Syarwani Abdan, telah ada sebuah rutinitas kegiatan shalawat yang dikenal dengan Maulid alHabsyi yang dibacakan secara berjamaah dengan banyak orang. Maulid al-Habsyi adalah pembacaan kitab shalawat yang berjudul Simtud Duror karangan Syekh Muhammad Ali bin Muhammad al-Habsyi. Pada awalnya Maulid al-Habsyi dilakukan tanpa menggunakan iringan hadrah.
Diceritakan bahwa ketika Haji Basyuni, saudagar emas asal Banjar, yang berasal dari Tulungagung datang kepada Syekh Sarwani Abdan al-Banjari, ia mengenalkan hadrah yang berasal dari Tulungagung kepada kiai tersebut. Kiai Syarwani yang melihat ada keunikan dalam seni hadrah asal Tulungagung ini kemudian mempersilahkan agar kegiatan jamiyyah shalawat Maulid Simtud Duror al Habsyi diiringi dengan kesenian hadrah. Pembacaan Sholawat dengan iringan hadrah dari Tulungagung inilah yang kemudian dikenal dengan Seni hadrah alBanjari yang dikenal luas oleh masyarakat saat ini. Melalui tangan Haji Basyuni, Yik Bakar diajak ke Bangil dan diperkenalkan kepada Kiai Syarwani. Sejak saat itulah, menurut Ustadz Chumaidi, salah satu perintis hadrah al-Banjari, jenis kesenian baru lahir:
Dahulu itu tidak ada namanya hadrah al-Banjari, yang dilihat atau yang diaktifitaskan itu shalawatnya, jadi hadrah itu cuma pemanis dalam bershalawat untuk lebih beriramah menuju sang kekasih, bahkan hadrah alBanjari dulu sebutannya cuma hadrah saja, bahkan diidentikkan dengan daerahnya, seperti Tulungagungan, Pekalongan, Pasuruan, Malangan dan kotakota lain, dahulu yang ada malah hadrah ISHARI.
Dengan demikian, menurut pendapat yang kedua ini, terjadi akulturasi kesenian antara hadrah Majruran ala Tulungagung dengan kesenian dalam Majelis Shalawat al-Habsyi. Maka, terdapat tiga tokoh kunci dalam proses “pelembagaan” hadrah al-Banjari ini, yaitu Yik Bakar, Haji Basyuni, dan Kiai Syarwani.
Adapun jika dilihat dari pola pembentukannya, bisa dilihat manakala kesenian Majruran dianggap sebagai embrio hadrah al-Banjari, kemudian dikombinasikan dengan kegiatan jamiyyah shalawat al-Habsyi di Pesantren Datuk Kalampayan. Kombinasi unik inilah yang kemudian menghasilkan sebuah genre musikalisasi shalawat bernama hadrah al-Banjari.
Sumber: digilib.uinsby.ac.id/1771/4/Bab%203.pdf oleh J Machrus - 2014
Post a Comment for "Ngakunya Anak Albanjari, Tapi Nggak Tahu Sejarah Kesenian Albanjari?? BACA INI.."
Hai ! Bagaimana, seru kan artikelnya? Jangan lupa untuk menanggapi artikel saya ini ya.. :)